Alkisah menurut para orang – orang asli
kudus, diriwayatkan rokok kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada
kurun waktu 1870 – 1880 an. Pada mulanya penduduk kudus ini sedang
merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu berusaha menggoleskan minyak
cengkeh tidak berapa lama sakitnya agak reda. Djamari lantas
bereksperimen merajang cengkeh dan melakukan pencampuran dengan bahan
tembakau untuk di lintang atau digulung menjadi sebatang rokok.
Waktu itu melinting sudah menjadi
kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan beberapa modifikasi dengan
mencampur bahan cengkeh. Setelah rutin mengisap atau merokok ciptaan
djamari merasa sakitnya agak reda. Ia lalu menawarkan kepada kerabat
atau tetangganya. Berita ini lantas menyebar bak bom waktu. Permintaan
rokok obat mengalir begitu deras. Djamari melayani order rokok cengkeh.
Lantaran ketika di hisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan
bunyi,”kemeretek,..”. Maka rokok temuannya djamari di kenal dengan rokok
kretek.
Pada mulanya rokok kretek di bungkus
dengan klobot atau daun jagung kering. Rokok kretek ini kian di kenal.
Namun tidak begitu dengan sang maestro penemunya djamari. Ia diketahui
meninggal pada tahun 1890. Siapa dia dan asal usulnya hingga kini masih
belum jelas.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari
menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok
di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908
usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga”. Bisa dikatakan
langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek
di Indonesia.
Menurut beberapa babad legenda yang
beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun
Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro
Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri
oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan
Sultan Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan
bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum
laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu
Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji
Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah
namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang,
Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini
berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa
tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito
pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang
kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil
berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah,
pedagang rokok klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada
sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida
di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk
para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang
sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah,
sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak
kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan
menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau
daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh
para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah
Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan
mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha
ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal
Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun
beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6
hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan
rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (
gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek
Goenoeng Kedoe),
H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang
Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu
mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per
hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga
pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota
di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda
sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa
pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan
rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Jenis Rokok Kretek : Ada
Rokok Kretek non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih
terbagi dari yang tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang
berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan)
tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan
saus cengkeh. Sedangkan kretek dengan filter berisi semacam gabus yang
berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.
Kretek diproduksi oleh rakyat yang juga
disebut petani tembakau serta petani cengkeh. Kretek bukan rokok, kretek
terbuat dari tembakau dan bunga cengkeh Indonesia, namun rokok hanya
terbuat dari tembakau.
Kretek itu bahannya sama menggunakan
tembakau. Tetapi kretek selain dari tembakau dicampur juga dengan bunga
cengkeh dan saos. Ada juga kretek filter dan ada kretek non filter.
Sedangkan yang bukan kretek adalah rokok putih.
Di dalam buku Membunuh Indonesia,
dikatakan bahwa kretek adalah asli Indonesia dan hanya ada di
Indonesia. Keseluruhan tenaga kerja yang terlibat dalam industri kretek
berjumlah sekitar 30,5 juta orang. Sehingga menjadi penting untuk
pemerintah melihat ini semua. Ketika pemerintah tidak sanggup
mengentaskan jumlah pengangguran yang cukup banyak, maka tidak
seharusnya malah menambah jumlah pengangguran.
sumber: